Ajaran Sunan Drajat

Empat pokok ajaran Sunan Drajat




꧋ꦥꦫꦶꦁꦠꦼꦏꦼꦤ꧀ꦩꦫꦁꦏꦁꦏꦭꦸꦚꦺꦴꦤ꧀ꦭꦤ꧀ꦮꦸꦠ꧉
꧋ꦥꦫꦶꦁꦥꦔꦤ꧀ꦩꦫꦁꦏꦁꦏꦭꦶꦉꦤ꧀꧈
꧋ꦥꦫꦶꦁꦱꦤ꧀ꦢꦁꦩꦫꦁꦏꦁꦏꦮꦸꦢꦤ꧀꧈
꧋ꦥꦫꦶꦁꦥꦪꦸꦁꦩꦫꦁꦏꦁꦏꦺꦴꦢꦤ꧀ꦤꦤ꧀꧈

Paring teken marang kang kalunyon lan wuta.
Paring pangan marang kang kaliren.
Paring sandang marang kang kawudan.
Paring payung kang kodanan.

Memberi tongkat kepada orang yang kelicinan dan buta.
Memberi makan kepada yang kelaparan.
Memberi pakaian kepada yang telanjang.
Memberi payung kepada yang kehujanan.




Makam Sunan Drajat (R. Qosim) di desa Drajat - Paciran - Lamongan 62264


 Makam Sunan Drajat (R. Qosim) di desa Drajat - Paciran - Lamongan 62264


Makam Sunan Drajat (R. Qosim) di desa Drajat - Paciran - Lamongan 62264


Makam Sunan Drajat (R. Qosim) di desa Drajat - Paciran - Lamongan 62264


Nama asli Sunan Drajat yaitu Raden Qosim. Beliau lahir sekitar tahun 1470 M, dan merupakan putra dari Sunan Ampel bersama Nyai Ageng Manila atau Dewi Condrowati.

Sunan Drajat merupakan anak kedua dari lima bersaudara seibu, bersama dengan Sunan Bonang, Siti Syari’ah, Siti Muthmainnah, dan Siti Hafsah.

Selama 36 tahun, Sunan Drajat menghabiskan sisa hidupnya untuk mengajarkan Islam di Ndalem Duwur. Beliau wafat sekitar tahun 1522 M dan dimakamkan di perbukitan Drajat, Paciran, Lamongan. Makam beliau terletak di posisi paling tinggi dan berada di belakang.

Dalam mengamalkan ajaran Islam terutama meningkatkan jiwa sosial dan juga pengentasan kemiskinan, Sunan Drajat mengajarkan filosofi yang dilukiskan dalam tujuh sap tangga di komplek makam Sunan Drajat. Tujuh ajaran tersebut sangat supel dan mampu diamalkan siapa saja dari berbagai kalangan maupun tingkatan. Adapun makna filosofi ketujuh sap tangga tersebut yakni sebagai berikut:

  1. Pertama: “Memangun resep tyasing sasama”, artinya kita harus selalu membuat hati orang lain merasa senang.
  2. Kedua: “Jroning suka kudu éling lan waspada”, maka ketika kita merasa bahagia, kita harus selalu ingat pada sang Kuasa (bersyukur) dan tetap waspada.
  3. Ketiga: “Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah”, artinya dalam perjalanan untuk menggapai cita-cita yang luhur maka kita tidak boleh takut dan mudah putus asa terhadap segala macam rintangan.
  4. Keempat: “Mèpèr Hardaning Pancadriya”, anjuran untuk selalu menekan hawa nafsu yang bergelora.
  5. Kelima: “Heneng – Hening – Henung”, artinya dalam keadaan diam kita bisa mendapat keheningan, dan saat keadaan menjadi hening maka disitulah kita mampu menggapai cita-cita yang mulia.
  6. Keenam: “Mulya Guna Panca Waktu”, maknanya adalah suatu kebahagiaan secara lahir dan batin yang bisa kita peroleh dengan melaksanakan sholat lima waktu.
  7. Ketujuh: Empat ajaran pokok bersosialisasi (catur piwulang) seperti yang dituliskan di atas. Maknanya yaitu kita harus memberikan ilmu kepada orang yang belum mengerti (bodoh), kita harus menyejahterakan orang yang miskin, kita harus mengajari tentang kesusilaan pada orang yang tidak tahu malu, dan kita harus melindungi orang yang sedang menderita atau terkena musibah.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manusia Sebagai Citra Allah

Citra Allah (צֶלֶם אֱלֹהִים‎)(صُورَةِ اللهِ)

Falsafah Ngopi (Ngolah Pikiran)